Juz 30

Surat Al-Ikhlas |112:2|

اللَّهُ الصَّمَدُ

allohush-shomad

Allah tempat meminta segala sesuatu.

Allah, the Eternal Refuge.

Tafsir
Jalalain

(Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu) lafal ayat ini terdiri dari Mubtada dan Khabar; artinya Dia adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu untuk selama-lamanya.

Alazhar

"Allah adalah pergantungan." (ayat 2). Artinya, bahwa segala sesuatu ini adalah Dia yang menciptakan,

sebab itu maka segala sesuatu itu kepada-Nyalah bergantung. Ada atas kehendak-Nya.Kata Abu Hurairah: "Arti Ash-Shamadu ialah segala sesuatu memerlukan

dan berkehendak kepada Allah, berlindung kepada-Nya, sedang Dia tidaklah berlindung kepada sesuatu jua pun.

Husain bin Fadhal mengartikan: "Dia berbuat apa yang Dia mau dan menetapkan apa yang Dia kehendaki."

Muqatil mengartikan: "Yang Maha Sempurna, yang tidak ada cacat-Nya.""Tidak Dia beranak, dan tidak Dia diperanakkan." (ayat 3).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Ikhlas | 112 : 2 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Ikhlas |112:3|

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

lam yalid wa lam yuulad

(Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.

He neither begets nor is born,

Tafsir
Jalalain

(Dia tiada beranak) karena tiada yang menyamai-Nya (dan tiada pula diperanakkan) karena mustahil hal ini terjadi bagi-Nya.

Alazhar

"Tidak Dia beranak, dan tidak Dia diperanakkan." (ayat 3).Mustahil Dia beranak. Yang memerlukan anak hanyalah makhluk bernyawa

yang menghendaki keturunan yang akan melanjutkan hidupnya. Seseorang yang hidup di dunia ini merasa cemas kalau dia tidak mendapat anak keturunan.

Karena dengan keturunan itu berarti hidupnya akan bersambung. Orang yang tidak beranak kalau mati, selesailah sejarahnya hingga itu. Tetapi seseorang yang hidup,

lalu beranak dan bersambung lagi dengan cucu, besarlah hatinya, karena meskipun dia mesti mati, dia merasa ada yang menyambung hidupnya.

Oleh sebab itu maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mustahil memerlukan anak. Sebab Allah hidup terus, tidak akan pernah mati-mati.

Dahulunya tidak berpemulaan dan akhirnya tidak berkesudahan. Dia hidup terus dan kekal terus, sehingga tidak memerlukan anak

yang akan melanjutkan atau menyambung kekuasaan-Nya sebagai seorang raja yang meninggalkan putera mahkota.

Dan Dia, Allah itu, tidak pula diperanakkan. Tegasnya tidaklah Dia berbapa. Karena kalau dia berbapa, teranglah bahwa si anak kemudian lahir ke dunia dari ayahnya,

dan kemudian ayah itu pun mati. Si anak menyambung kuasa. Kalau seperti orang Nasrani yang mengatakan bahwa Allah itu beranak dan anak itu ialah Nabi Isa Almasih,

yang menurut susunan kepercayaan mereka sama dahulu tidak bepermulaan dan sama akhir yang tidak berkesudahan di antara sang bapa dengan sang anak,

maka bersamaanlah wujud di antara si ayah dengan si anak, sehingga tidak perlu ada yang bernama bapa dan ada pula yang bernama anak.

Dan kalau anak itu kemudian baru lahir, nyatalah anak itu suatu kekuasaan atau ketuhanan yang tidak perlu,

kalau diakui bahwa si bapa kekal dan tidak mati-mati, sedang si anak tiba kemudian."Dan tidak ada bagi-Nya yang setara, seorang jua pun." (ayat 4).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Ikhlas | 112 : 3 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Ikhlas |112:4|

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

wa lam yakul lahuu kufuwan aḥad

Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.

Nor is there to Him any equivalent."

Tafsir
Jalalain

(Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia) atau yang sebanding dengan-Nya, lafal Lahu berta'alluq kepada lafal Kufuwan.

Lafal Lahu ini didahulukan karena dialah yang menjadi subjek penafian; kemudian lafal Ahadun diakhirkan letaknya padahal ia sebagai isim dari lafal Yakun,

' sedangkan Khabar yang seharusnya berada di akhir mendahuluinya; demikian itu karena demi menjaga Fashilah atau kesamaan bunyi pada akhir ayat.

Alazhar

"Dan tidak ada bagi-Nya yang setara, seorang jua pun." (ayat 4). Keterangan: Kalau diakui Dia beranak, tandanya Allah Tuhan itu

mengenal waktu tua. Dia memerlukan anak untuk menyilihkan kekuasaan-Nya.Kalau diakui diperanakkan, tandanya Allah itu pada mulanya masih muda yaitu sebelum bapa-Nya mati.

Kalau diakui bahwa Dia terbilang, ada bapa ada anak, tetapi kedudukannya sama, fikiran sihat yang mana jua pun akan mengatakan bahwa "keduanya"

akan sama-sama kurang kekuasaannya. Kalau ada dua yang setara, sekedudukan, sama tinggi pangkatnya, sama kekuasaannya

atas alam, tidak ada fikiran sihat yang akan dapat menerima kalau dikatakan bahwa keduanya itu berkuasa mutlak. Dan kalau keduanya sama tarafnya, yang berarti sama-sama kurang kuasa-Nya,

yakni masing-masing mendapat separuh, maka tidaklah ada yang sempurna ketuhanan keduanya. Artinya bahwa itu bukanlah tuhan. Itu masih alam, itu masih lemah.

Yang Tuhan itu ialah Mutlak Kuasa-Nya, tiada berbagi, tiada separuh seorang, tiada gandingan, tiada bandingan dan ada tiada tandingan.

Dan tidak pula ada tuhan yang nganggur, belum bertugas sebab bapanya masih ada!Itulah yang diterima oleh perasaan yang bersih murni.

Itulah yang dirasakan oleh akal cerdas yang tulus. Kalau tidak demikian, kacaulah dia dan tidak bersih lagi. Itu sebabnya maka Surat ini dinamai pula Surat Al-Ikhlas,

artinya sesuai dengan jiwa murni manusia, dengan logika, dengan berfikir teratur.Tersebutlah di dalam beberapa riwayat yang dibawakan oleh ahli tafsir bahwa asal mula Surat ini turun: "Shif lanaa rabaka"

ialah karena pernah orang musyrikin itu meminta kepada Nabi (Coba jelaskan kepada kami apa macamnya Tuhanmu itu, emaskah dia atau tembaga atau loyangkah?).

Menurut Hadis yang dirawikan oleh Termidzi dari Ubay bin Ka'ab, memang ada orang musyrikin meminta kepada Nabi supaya

diuraikannya nasab (keturunan atau sejarah) Tuhannya itu. Maka datanglah Surat yang tegas ini tentang Tuhan.

Abus Su'ud berkata dalam tafsirnya: "Diulangi nama Allah sampai dua kali (ayat 1 dan ayat 2) dengan kejelasan bahwa Dia adalah Esa, Tunggal, Dia adalah penggantungan segala makhluk,

supaya jelaslah bahwa yang tidak mempunyai kedua sifat pokok itu bukanlah Tuhan. Di ayat pertama ditegaskan Keesaan-Nya, untuk menjelaskan bersih-Nya Allah

dari berbilang dan bersusun, dan dengan sifat Kesempurnaan Dia tempat bergantung, tempat berlindung; bukan Dia yang mencari perlindungan kepada yang lain,

Dia tetap ada dan kekal dalam kesempurnaan-Nya, tidak pernah berkurang. Dengan penegasan "Tidak beranak", ditolaklah kepercayaan setengah manusi bahwa malaikat itu adalah anak Allah atau Isa Almasih adalah anak Allah.

Tegasnya dari Allah itu tidak ada timbul apa yang dinamai anak, karena tidak ada sesuatu pun yang mendekati jenis Allah itu, untuk jadi jodoh dan "teman hidupnya", yang dari pergaulan berdua timbullah anak." – Sekian Abus Su'ud.

Imam Ghazali menulis di dalam kitabnya "Jawahirul-Qur'an" : "Kepentingan Al-Qur'an itu ialah untuk ma'rifat terhadap Allah

dan ma'rifat terhadap hari akhirat dan ma'rifat terhadap Ash-Shirathal Mustaqim. Ketiga ma'rifat inilah yang sangat utama pentingnya. Adapun yang lain adalah pengiring-pengiring dari yang tiga ini.

Maka Surat Al-Ikhlas adalah mengandung satu daripada ma'rifat yang tiga ini, yaitu Ma'rifatullah, dengan memberishkan-Nya, mensucikan fikiran terhadap-Nya dengan mentauhidkan-Nya

daripada jenis dan macam. Itulah yang dimaksud bahwa Allah bukanlah pula bapa yang menghendaki anak, laksana pohon.

Dan bukan diperanakkan, laksana dahan yang berasal dari pohon, dan bukan pula mempunyai tandingan, bandingan dan gandingan."

Ibnul Qayyim menulis dalam Zaadul Ma'ad: "Nabi SAW selalu membaca pada sembahyang Sunnat Al-Fajar dan sembahyang

Al-Witir kedua Surat Al-Ikhlas dan Al-Kaafiruun. Karena kedua Surat itu mengumpulkan Tauhid, Ilmu dan Amal, Tauhid Ma'rifat dan Iradat, Tauhid I'tiqad dan Tujuan. Surat Al-Ikhlas

mengandungi Tauhid I'tiqad dan Ma'rifat dan apa yang wajib dipandang tetap teguh pada Allah menurut akal murni, yaitu Esa,

Tunggal. Naf'i yang mutlak daripada bersyarikat dan bersekutu, dari segi mana pun. Dia adalah Pergantungan yang tetap, yang pada-Nya

terkumpul segala sifat kesempurnaan, tidak pernah berkekurangan dari segi mana pun. Naf'i daripada beranak dan diperanakkan, karena kalau keduanya itu ada,

Dia tidak jadi pergantungan lagi dan Keesaan-Nya tidak bersih lagi. Dan Naf'i atau tidaknya kufu', tandingan, bandingan dan gandingan adalah menafikan perserupaan,

perumpamaan ataupun pandangan lain. Sebab itu makna Surat ini mengandung segala kesempurnaan bagi Allah dan menafikan segala kekuarangan. Inilah dia Pokok Tauhid

menurut ilmiah dan menurut akidah, yang melepaskan orang yang berpegang teguh kepadanya daripada kesesatan dan mempersekutukan.

Itu sebab maka Surat Al-Ikhlas dikatakan oleh Nabi Sepertiga Qur'an. Sebab Al-Qur'an berisi Berita (Khabar) dan Insyaa.

Dan Insyaa mengandung salah satu tiga pokok: (1) perintah, (2) larangan, (3) boleh atau diizinkan. Dan Khabar dua pula: (1) Khabar yang datang dari Allah sebagai Pencipta (Khaliq)

dengan nama-nama-Nya dan hukum-hukum-Nya. (2) Khabar dari makhluk-Nya, maka diikhlaskanlah oleh makhluk di dalam Surat Al-Ikhlas tentang nama-nama-Nya

dan sifat-sifat-Nya, sehingga jadilah isinya itu mengandung Sepertiga Al-Qur'an. Dan dibersihkannya pula

barangsiapa yang membacanya dengan Iman, daripada mempersekutukan Allah secara ilmiah. Sebagaimana

Surat Al-Kaafiruun pun telah membersihkan dari syirik secara amali, yang timbul dari kehendak dan kesengajaan." – Sekian Ibnul Qayyim.

Ibnul Qayyim menyambung lagi: "Menegakkan akidah ialah dengan ilmu. Persediaan ilmu hendaklah sebelum beramal.

Sebab ilmu itu adalah Imam, penunjuk jalan, dan hakim yang memberikan keputusan di mana tempatnya dan telah sampai di mana. Maka "Qul Huwallaahu Ahad"

adalah puncak ilmu tentang akidah. Itu seba maka Nabi mengatakannya sepertiga Al-Qur'an. Hadis-hadis yang mengatakan demikian boleh dikatakan mencapai derajat mutawatir. Dan "Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruuna"

sama nilainya dengan seperempat Al-Qur'an. Dalam sebuah Hadis dari Termidzi, yang dirawikan dari Ibnu Abbas dijelaskan: "Idzaa Zulzilatil Ardhu"

sama nilainya dengan separuh Al-Qur'an. "Qul Huwallahu Ahad" sama dengan sepertiga Al-Qur'an dan "Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruuna" sama nilainya dengan seperempat Al-Qur'an.

Al-Hakim merawikan juga Hadis ini dalam Al-Mustadriknya dan beliau berkata bahwa Isnad Hadis ini shahih.

*** Maka tersebutlah dalam sebuah Hadis yang dirawikan oleh Bukhari dari Aisyah, – moga-moga Allah meridhainya – bahwa Nabi SAW

pada satu waktu telah mengirim siryah (patroli) ke suatu tempat. Pemimpin patroli itu tiap-tiap sembahyang yang menjahar menutupnya dengan membaca "Qul Huwallaahu Ahad."

Setelah mereka kembali pulang, mereka khabarkanlah perbuatan pimpinan mereka itu kepada Nabi SAW. Lalu Nabi SAW berkata:

"Tanyakan kepadanya apa sebab dia lakukan demikian." Lalu mereka pun bertanya kepadanya, (mengapa selalu ditutup dengan membaca "Qul Huwallaahu Ahad").

Dia menjawab: "Itu adalah sifat dari Tuhan Yang Bersifat Ar-Rahman, dan saya amat senang membacanya."

Mendengar keterangan itu bersabdalah Nabi SAW: "Katakanlah kepadanya bahwa Allah pun senang kepadanya."

Dan terdapatlah juga beberapa sabda Rasul yang lain tentang kelebihan Surat Al-Ikhlas ini. Banyak pula Hadis-hadis

menerangkan pahala membacanya. Bahkan ada sebuah Hadis yang diterima dari Ubay dan Anas bahwa Nabi SAW pernah bersabda:

"Diasaskan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi atas Qul Huwallaahu Ahad."Betapa pun derajat Hadis ini, namun maknanya memang tepat.

Al-Imam Az-Zamakhsyari di dalam Tafsirnya memberi arti Hadis ini: "Yaitu tidaklah semuanya itu dijadikan

melainkan untuk menjadi bukti atas mentauhidkan Allah dan mengetahui sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam Surat ini."

Diriwayatkan oleh Termidzi dari Abu Hurairah, berkata dia: "Aku datang bersama Nabi SAW tiba-tiba beliau dengar seseorang membaca "Qul Huwallaahu Ahad".

Maka berkatalah beliau SAW: "Wajabat" (Wajiblah). Lalu aku bertanya: "Wajib apa ya Rasul Allah?" Beliau menjawab: "Wajib orang itu masuk syurga." Kata Termidzi Hadis itu Hasan (bagus) dan shahih.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Ikhlas | 112 : 4 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Falaq |113:1|

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ

qul a'uużu birobbil-falaq

Katakanlah, Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar),

Say, "I seek refuge in the Lord of daybreak

Tafsir
Jalalain

(Katakanlah, "Aku berlindung kepada Rabb Yang menguasai falaq) atau waktu subuh.

Alazhar

"Katakanlah" – wahai Utusan-Ku – "Aku berlindung dengan Tuhan dari cuaca Subuh." (ayat 1). Tuhan Allah adalah tempat berlindung.

Nabi SAW dan kita semuanya diperintahkan Tuhan agar berlindung dengan Allah. Setengah kekuasaan Allah itu ialah bahwa Dia menciptakan dan membuat suasana cuaca Subuh.

Dalam ayat ini Al-Falaq yang tertulis di ujung ayat kita artikan cuaca Subuh, yaitu ketika perpisahan di antara gelap malam dengan mulai terbit fajar hari akan siang.

Dengan hikmat tertinggi Tuhan mewahyukan kepada Rasul-Nya akan kepentingan saat pergantian hari dari malam kepada siang itu.

Waktu sebagai modal hidup sehari semalam 24 jam lamanya. Kita disuruh melindungkan diri,

memohon perlindungan dan pernaungan kepada Tuhan yang menguasai cuaca Subuh itu.

Berlindung kepada Tuhan agar terlepas dari segala bahaya yang ada di hadapan kita, yang kita sendiri tidak tahu.

Al-Falaq ada juga diartikan dengan peralihan. Peralihan dari malam ke siang, peralihan dari tanah yang telah sangat kering karena kemarau,

lalu turun hujan, maka hiduplah kembali tumbuh-tumbuhan. Peralihan dari biji kering terlempar ke atas tanah,

lalu timbul uratnya dan dia memulai hidup. Maka berlindunglah kita kepada Tuhan, dalam sebutan-Nya sebagai RABB,

yang berarti mengatur, mendidik dan memelihara; supaya berkenanlah kiranya Tuhan memperlindungi kita,

dari kemungkinan-kemungkinan bahaya yang terkandung pada pergantian siang dan malam atau peralihan musim.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Falaq | 113 : 1 |

Tafsir ayat 1-5

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Isam, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Saleh,

dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil, dari Jabir yang mengatakan bahwa al-falaq artinya subuh.Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Al-falaq" bahwa makna

yang dimaksud ialah subuh. Dan telah diriwayatkan halyangsemisal dari Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil, Al-Hasan, Qatadah, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, Ibnu Zaid, dan Malik,

dari Zaid ibnu Aslam.Al-Qurazi. Ibnu Zaid, dan Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna yang dimaksud sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:


فالِقُ الْإِصْباحِ


Dia menyingsingkan pagi. (Al-An'am: 96) Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Al-falaq," bahwa makna yang dimaksud ialah makhluk.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dahhak, bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk membaca ta'awwuz dari kejahatan semua makhluk-Nya.Ka'bul Ahbar mengatakan bahwa al-falaq adalah nama sebuah

penjara di dalam neraka Jahanam; apabila pintunya dibuka, maka semua penghuni neraka menjerit karena panasnya yang sangat. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya, untuk itu ia mengatakan bahwa telah

menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Suhail ibnu Usman, dari seorang lelaki, dari As-Saddi, dari Zaid ibnu Ali, dari kakek moyangnya, bahwa mereka telah mengatakan bahwa al-falaq

adalah nama sebuah sumur di dasar neraka Jahanam yang mempunyai tutup. Apabila tutupnya dibuka, maka keluarlah darinya api yang menggemparkan neraka Jahanam karena panasnya yang sangat berlebihan.

Hal yang sama telah diriwayatkan dari Amr ibnu Anbasah dan As-Saddi serta lain-lainnya.Sehubungan dengan hal ini telah aa sebuah hadis marfu' yang berpredikat munkar; untuk itu Ibnu Jarir mengatakan,

telah menceritakan kepadaku Ishaq ibnu Wahb Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Mas'ud ibnu Musa ibnu Misykan Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami

Nasr ibnu Khuzaimah Al-Khurrasani, dari Syu'aib ibnu Safwan, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:


«الْفَلَقُ جُبٌّ فِي جَهَنَّمَ مُغَطَّى»


Falaq adalah sebuah sumur di dalam neraka Jahanam yang mempunyai penutup. Sanad hadis ini garib dan predikat marfu'-nya tidak sahih. Abu Abdur Rahman Al-Habli

telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, bahwa al-falaq adalah nama lain dari neraka Jahanam.Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang benar adalah pendapat yang pertama,

yaitu yang mengatakan bahwa sesungguhnya falaq adalah subuh. Pendapat inilah yang sahih dan dipilih oleh Imam Bukhari di dalam kitab sahihnya. Firman Allah Swt:


{مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ}


dari kejahatan makhluk-Nya. (Al-Falaq: 2) Yakni dari kejahatan semua makhluk. Sabit Al-Bannani dan Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan bahwa Jahanam, Iblis, dan keturunannya termasuk makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt. irman Allah Swt.:


{وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ}


dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. (Al-Falaq: 3) Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah bila matahari telah tenggelam; demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Mujahid.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ibnu Abu Najih, dari Mujahid. Dan hal yang sama telah dikatakan oleh Ibnu Abbas, Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi. Ad-Dahhak. Khasif. Al-Hasan, dan Qatadah,

bahwa sesungguhnya makna yang dimaksud ialah malam hari apabila datang dengan kegelapan. Az-Zuhri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. (Al-Falaq: 3)

Yakni matahari apabila telah tenggelam. Telah diriwayatkan pula dari Atiyyah dan Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: apabila telah gelap gulita. (Al-Falaq: 3) Yaitu malam hari bila telah pergi.

Abu Mihzan mengatakan dari Abu Hurairah sehubungan dengan makna firman-Nya: dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. (Al-Falaq: 3) Bahwa makna yang dimaksud ialah bintang.

Ibnu Zaid mengatakan, dahulu orang-orang Arab mengatakan bahwa al-gasiq artinya jatuhnya bintang surayya. Berbagai penyakit dan Ta'un mewabah seusai jatuhnya bintang surayya, dan menjadi Lenyap dengan sendirinya

bila bintang surayya terbit. Yang dimaksud dengan jatuh ialah tenggelam.Ibnu Jarir mengatakan bahwa di antara asar yang bersumber dari mereka ialah apa yang diceritakan kepadaku oleh Nasr Ibnu Ali, telah menceritakan

kepadaku Bakkar, dari Abdullah keponakan Hammam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Aziz ibnu Umar, dari Abdur Rahman ibnu Auf, dari ayahnya, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah,

dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya: dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. (Al-Falaq: 3) Lalu beliau Saw. bersabda, bahwa makna yang dimaksud ialah bintang bila telah tenggelam.

Menurut hemat saya, predikat marfu' hadis ini tidak sahih sampai kepada Nabi Saw. Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah rembulan. Menurut hemat saya, yang dijadikan

pegangan oleh orang-orang yang berpendapat demikian ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Daud Al-Hafri, dari Ibnu Abu Zi-b dari Al-Haris ibnu Abu Salamah

yang mengatakan bahwa Siti Aisyah r.a. telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. memegang tangannya, lalu memperlihatkan kepadanya rembulan saat terbitnya, kemudian beliau Saw. bersabda:


«تَعَوَّذِي بِاللَّهِ مِنْ شَرِّ هَذَا الْغَاسِقِ إِذَا وَقَبَ»


Mohonlah perlindungan kepada Allah dari kejahatan rembulan ini apabila telah tenggelam. Imam Turmuzi dan Imam Nasai telah meriwayatkan di dalam kitab tafsir dari kitab sunan masing-masing melalui hadis

Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Zi-b, dari pamannya (yaitu Al-Haris ibnu Abdur Rahman) dengan lafazyang sama; dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Lafaznya berbunyi seperti berikut:


«تَعَوَّذِي بِاللَّهِ مِنْ شَرِّ هَذَا فَإِنَّ هَذَا الْغَاسِقُ إِذَا وَقَبَ»


Mohonlah perlindungan kepada Allah dari kejahatan (rembulan) ini, yaitu apabila ia telah tenggelam. Menurut lafaz Imam Nasai disebutkan seperti berikut:


«تَعَوَّذِي بِاللَّهِ مِنْ شَرِّ هَذَا، هَذَا الْغَاسِقُ إِذَا وَقَبَ»


Mohonlah perlindungan kepada Allah dari kejahatan (rembulan) ini, yaitu apabila ia telah tenggelam. Orang-orang yang mengatakan pendapat pertama mengatakan bahwa rembulan merupakan pertanda malam hari bila telah muncul,

dan ini tidaklah bertentangan dengan pendapat kami. Karena sesungguhnya rembulan merupakan pertanda malam hari dan rembulan tidak berperan kecuali hanya di malam hari.

Demikian pula halnya dengan bintang-bintang; bintang-bintang tidak dapat bersinar kecuali di malam hari; dan hal ini sejalan dengan pendapat yang kami katakan; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah Swt.:


{وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ}


dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang mengembus pada buhul-buhul. (Al-Falaq:4) Mujahid, Ikrimah. Al-Hasan. Qatadah. dan Ad-Dahhak telah mengatakan bahwa yang dimaksud ialah wanita-wanita

penyihir.Mujahid mengatakan bahwa yaitu apabila wanita-wanita penyihir itu mengembus pada buhul-buhulnya.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Saur

dari Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya yang mengatakan bahwa tiada suatu perbuatan pun yang lebih mendekati kepada kemusyrikan selain dari ruqyatul hayyah dan majanin, yakni sejenis perbuatan sihir.

Di dalam hadis lain disebutkan bahwa Malaikat Jibril datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya, "Hai Muhammad, apakah engkau sakit?" Nabi Saw. menjawab, "Ya." Jibril berkata (yakni berdoa):


باسم اللَّهِ أَرْقِيكَ مِنْ كُلِّ دَاءٍ يُؤْذِيكَ، وَمِنْ شَرِّ كُلِّ حَاسِدٍ وَعَيْنٍ، اللَّهُ يَشْفِيكَ


Dengan menyebut nama Allah aku meruqyahmu dari semua penyakit yang mengganggumu dan dari kejahatan setiap orang yang dengki dan kejahatan pandangan mata; semoga Allah menyembuhkanmu.

Barangkali hal ini terjadi di saat Nabi Saw. sakit akibat terkena sihir, kemudian Allah Swt. menyelamatkan dan menyembuhkannya, dan menolak rencana jahat para penyihir dan orang-orang yang dengki dari kalangan orang-orang Yahudi,

lalu menimpakannya kepada mereka dan menjadikan kehancuran mereka oleh tipu muslihat mereka sendiri hingga mereka dipermalukan. Tetapi sekalipun mendapat perlakuan demikian, Rasulullah Saw. tidak menegur atau

mengecam pelakunya di suatu hari pun, bahkan beliau merasa cukup hanya meminta pertolongan kepada Allah, dan Dia menyembuhkan serta menyehatkannya. Imam Ahmad mengatakan. telah menceritakan

kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Yazid ibnu Hibban, dari Zaid ibnu Arqam yang mengatakan bahwa seorang lelaki Yahudi menyihir Nabi Saw. Karena itu,

beliau merasa sakit selama beberapa hari.Lalu datanglah Jibril dan berkata, "Sesungguhnya seorang lelaki Yahudi telah menyihirmu dan membuat suatu buhul yang ditujukan terhadapmu, lalu ia meletakkannya di dalam sumurmu.'"

Lalu Rasulullah Saw. menyuruh seseorang untuk mengambil buhul tersebut dari dalam sumur yang dimaksud. Setelah buhul itu dikeluarkan dari sumur, lalu diberikan kepada Rasulullah Saw. dan beliau membukanya,

maka dengan serta merta seakan-akan Rasulullah Saw. baru terlepas dari suatu ikatan. Dan Rasulullah Saw. tidak pernah menyebutkan lelaki Yahudi itu dan tidak pula melihat mukanya sampai beliau wafat.

Imam Nasai telah meriwayatkan hadis ini dari Hamad, dari Abu Mu'awiyah alias Muhammad ibnu Hazim Ad-Darir.Imam Bukhari mengatakan di dalam Kitabut Tib, dari kitab sahihnya, bahwa telah menceritakan

kepada kami Abdullah ibnu Muhammad yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sufyan ibnu Uyaynah mengatakan bahwa orang yang mula-mula menceritakan kisah ini kepada kami adalah ibnu Juraij.

Ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku keluarga Urwah, dari Urwah, lalu aku menanyakan tentangnya kepada Hisyam, maka Hisyam mengatakan bahwa Urwah memang pernah menceritakan kepada kami dari ayahnya,

dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa dahulu Rasulullah Saw. pernah disihir hingga beliau beranggapan bahwa dirinya telah mendatangi istri-istrinya, padahal tidak.

Sufyan selanjutnya mengatakan bahwa sihir jenis ini merupakan sihir yang paling keras, bila pengaruhnya demikian. Lalu Rasulullah Saw. bersabda:


«يَا عَائِشَةُ أَعْلِمْتِ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَفْتَانِي فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ؟ أَتَانِي رَجُلَانِ فَقَعَدَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِي وَالْآخَرُ عِنْدَ رِجْلَيِّ، فَقَالَ الَّذِي عِنْدَ رَأْسِي لِلْآخَرِ: مَا بَالُ الرَّجُلِ؟ قَالَ: مَطْبُوبٌ ، قَالَ: وَمَنْ طَبَّهُ، قال لَبِيَدُ بْنُ أَعْصَمَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي زُرَيْقٍ حليف اليهود كان منافقا، قال: وَفِيمَ؟ قَالَ: فِي مُشْطٍ وَمُشَاقَةٍ ، قَالَ: وَأَيْنَ؟ قَالَ: فِي جُفِّ طَلْعَةِ ذَكَرٍ تَحْتَ رَعُوفَةٍ في بئر ذروان»


Hai Aisyah, tahukah engkau bahwa Allah telah memberiku nasihat tentang masalah yang aku telah memohon petunjuk dari-Nya mengenainya" Dua orang lelaki datang kepadaku yang salah seorangnya duduk di dekat kepalaku

sedangkan yang lainnya duduk di dekat kakiku. Maka orang yang ada di dekat kepalaku berkata kepada temannya, "Mengapa lelaki ini?” Ia menjawab, "Terkena sihir.” Orang yang berada dekat kepalaku bertanya,

"Siapakah yang menyihirnya?” Ia menjawab, "Lubaid ibnu A 'sam, seorang lelaki dari Bani Zuraiq teman sepakta orang-orang Yahudi, dia adalah seorang munafik.” Yang berada di dekat kepalaku bertanya,

"Dengan apa?” Ia menjawab, "Sisir dan rambut.” Orang yang berada di dekat kepalaku bertanya, ' 'Di taruh di mana?'' Ia menjawab, "Di dalam mayang kurma jantan

di bawah sebuah batu di dalam sumur Zirwan.” Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. mendatangi sumur tersebut dan mengeluarkannya, kemudian beliau bersabda:


«هَذِهِ الْبِئْرُ الَّتِي أُرِيتُهَا وَكَأَنَّ مَاءَهَا نقاعة الحناء وكأن نخلها رؤوس الشياطين»


Inilah sumur yang diperlihatkan kepadaku dalam mimpiku; airnya seakan-akan seperti warna pacar (merah) dan pohon-pohon kurmanya seakan-akan seperti kepala-kepala setan. Kemudian benda itu dikeluarkan dan dikatakan kepada beliau Saw., "Tidakkah engkau membalikkannya?" Rasulullah Saw. menjawab:


«أَمَّا اللَّهُ فَقَدْ شَفَانِي وَأَكْرَهُ أَنْ أُثِيرَ عَلَى أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ شَرًّا»


Ingatlah, demi Allah, sesungguhnya Allah telah menyembuhkan diriku, dan aku tidak suka menimpakan suatu keburukan terhadap seseorang. Dan Imam Bukhari meng-isnad-kan hadis ini melalui Isa ibnu Yunus,

Abu Damrah alias Anas ibnu Iyad, Abu Usamah, dan Yahya Al-Qattan, yang di dalamnya disebutkan bahwa Aisyah r.a. mengatakan bahwa beliau Saw. sering berilusi seakan-akan telah melakukan sesuatu padahal tidak.

Dalam riwayat ini disebutkan pula bahwa setelah itu Nabi Saw. memerintahkan agar sumur tersebut dimatikan, lalu ditimbun.Imam Bukhari menyebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abuz Zanad dan

Al-Lais ibnu Sa'd, dari Hisyam. Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Abu Usamah alias Hammad ibnu Usamah dan Abdullah ibnu Namir. Imam Ahmad meriwayatkannya dari Affan, dari Wahb, dari Hisyam dengan sanad yang sama.

Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Ibrahim ibnu Khalid, dari Ma'mar, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah yang menceritakan bahwa Nabi Saw. tinggal selama enam bulan sering mengalami seakan-akan mengerjakan sesuatu

padahal kenyataannya tidak. Kemudian datanglah kepadanya dua malaikat, salah seorang duduk di dekat kepalanya, sedangkan yang lain duduk di dekat kakinya.Salah seorangnya berkata kepada yang lain, "Kenapa dia?"

Yang lain menjawab, "Terkena sihir." Ia bertanya, "Siapakah yang menyihirnya?" Yang lain menjawab, "Labid ibnul A'sam," lalu disebutkan hingga akhir hadis. Al-Ustaz Al-Mufassir As-Sa'labi telah menyebutkan di dalam kitab tafsirnya,

bahwa ibnu Abbas dan Aisyah pernah menceritakan bahwa pernah ada seorang pemuda Yahudi menjadi pelayan Rasulullah Saw. Lalu orang-orang Yahudi mempengaruhi pemuda itu dengan gencarnya hingga

pemuda itu mau menuruti kemauan mereka. Maka ia mengambil beberapa helai rambut Rasulullah Saw. dan beberapa buah gigi sisir yang biasa dipakai oleh beliau Saw., setelah itu kedua barang tersebut ia serahkan

kepada orang-orang Yahudi.Lalu mereka menyihir Nabi Saw. melalui kedua benda itu, dan orang yang melakukannya adalah salah seorang dari mereka yang dikenal dengan nama Ibnu A'sam. Kemudian kedua barang

tersebut ia tanam di dalam sebuah sumur milik Bani Zuraiq yang dikenal dengan nama Zirwan. Maka Rasulullah Saw. mengalami sakit dan rambut beliau kelihatan rontok. Beliau tinggal selama enam bulan seakan-akan

mendatangi istri-istrinya, padahal kenyataannya tidak, dan beliau kelihatan gelisah dan tidak mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya.Ketika beliau sedang tidur, tiba-tiba ada dua malaikat datang kepadanya.

Maka salah seorangnya duduk di dekat kepalanya, sedangkan yang lain duduk di dekat kakinya. Malaikat yang ada di dekat kakinya bertanya kepada malaikat yang ada di dekat kepalanya, "Apakah yang dialami oleh lelaki ini?"

Ia menjawab, "Pengaruh Tib." Yang ada di dekat kakinya bertanya, "Apakah Tib itu?" Ia menjawab, "Sihir." Yang ada di dekat kakinya bertanya "Siapakah yang menyihirnya?" Ia menjawab, "Labid Ibnul A'sam, seorang Yahudi."

Malaikat yang ada di dekat kakinya bertanya, "Dengan apakah ia menyihirnya?" Ia menjawab, "Dengan rambutnya dan gigi sisirnya." Yang ada di dekat kakinya bertanya, "Di manakah hal itu diletakkan?"

Ia menjawab, "Di dalam mayang kurma jantan di bawah batu yang ada di dalam sumur Zirwan." Al-juff artinya. kulit mayang kurma. Dan ar-raufah adalah sebuah batu yang di dalam sumur, tetapi menonjol digunakan untuk

tempat berdirinya orang yang mengambil air.Maka Rasulullah Saw. terbangun dalam keadaan terkejut, lalu bersabda: Hai Aisyah, tidakkah engkau mengetahui bahwa Allah telah menceritakan kepadaku tentang penyakitku ini.

Lalu Rasulullah Saw. menyuruh Ali, Az-Zubair, dan Ammar ibnu Yasir untuk mengeringkan sumur tersebut; maka mereka bertiga mengeringkan sumur itu, yang airnya kelihatan seakan-akan seperti warna pacar (merah).

Mereka bertiga mengangkat batu itu dan mengeluarkan mayang kurma yang ada di bawahnya. Maka ternyata di dalamnya terdapat beberapa helai rambut Rasulullah Saw. dan beberapa gigi sisirnya,

dan tiba-tiba di dalamnya terdapat benang yang berbuhul (mempunyai ikatan) sebanyak dua belas ikatan yang ditusuk dengan jarum. Maka Allah menurunkan dua surat Mu'awwizatain,

dan setiap kali Rasulullah Saw. membaca suatu ayat dari kedua surat tersebut, beliau merasa agak ringan, hingga terlepaslah semua ikatan benang itu dan bangkitlah beliau seakan-akan baru terlepas dari ikatan.

Sedangkan Jibril a.s. mengucapkan: Dengan menyebut nama Allah aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang mengganggumu dari orang yang dengki dan pandangan mata yang jahat;

semoga Allah menyembuhkanmu. Setelah itu mereka berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkah kami menangkap orang yang jahat itu dan membunuhnya?" Rasulullah Saw. menjawab:


"أما أَنَا فَقَدَ شَفَانِي اللَّهُ، وَأَكْرَهُ أَنْ يُثِيرَ عَلَى النَّاسِ شَرًّا"


Adapun diriku telah disembuhkan oleh Allah, dan aku tidak suka menimpakan keburukan terhadap orang lain. Demikianlah bunyi hadis ini tanpa isnad, di dalamnya terdapat hal yang garib

dan pada sebagiannya terdapat mungkar yang parah, dan sebagiannya lagi ada yang diperkuat oleh hadis-hadis yang telah disebutkan di atas. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Surat Al-Falaq |113:2|

مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

min syarri maa kholaq

dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan,

From the evil of that which He created

Tafsir
Jalalain

(Dari kejahatan apa yang telah diciptakan-Nya) yaitu dari kejahatan makhluk hidup yang berakal dan yang tidak berakal; serta dari kejahatan benda mati seperti racun dan lain sebagainya.

Alazhar

"Dari kejahatan apa-apa yang telah Dia jadikan." (ayat 2). Semua makhluk ini Allahlah yang menciptakannya;

baik langit dengan segala matahari, bulan dan bintang gemintangnya, sampai kepada awan-awan berarak.

Atau bumi dengan segala isi penghuninya, lautnya dan daratnya, bukitnya dan lurahnya. Semuanya adalah ciptaan Tuhan,

sedang kita manusia ini hanyalah satu makhluk kecilsaja yang terselat di dalamnya.

Dan segala yang telah dijadikan Allah itu bisa saja membahayakan bagi manusia, meskipun sepintas lalu kelihatan tidak apa-apa.

Hujan yang lebat bisa menjadi banjir dan kita ditimpa celaka kejahatan banjir,

hanyut dan tenggelam. Panas yang terik bisa menjelma menjadi kebakaran besar, dan kita bisa saja turut hangus terbakar.

Gunung yang tinggi yang sepintas lalu menjadi perhiasan alam keliling dan penangkis angin dan ribut, bisa runtuh dan longsor, kita pun mati terhimpit dalam timbunan tanah.

Lautan yang luas dapat kita layari. Tetapi kapal yang kita tumpang bisa saja dihantam badai,

tiang patah, atau tersandung kepada gunung salju, kapal pun tenggelam, kita pun mati.

Naik kapal udara adalah alat perhubungan yang paling cepat di zaman modern ini.

Bisa saja awan sangat tebal sehingga tidak dapat ditembus penglihatan,

sehingga tiba-tiba kapal terbang terbentur kepada gunung, dia pun hancur dan kita pun turut hancur di dalamnya.

Atau sangat keras badai di laut sehingga kapal udara itu tidak dapat mengatasinya, dia pun tenggelam dan kita pun turut tenggelam ke dalam perut lautan.

Bermain-main di bawah pohon kayu besar. Tiba-tiba angin puyuh datang berhembus, pohon itu naik tumbang,

kita mati dihimpitnya. Naik kereta api yang tergelincir relnya, sehingga jatuh dan hancur. Naik mobil yang tiba-tiba tidak terkendalikan, sehingga masuk ke dalam lurah.

Sedang kita enak-enak berjalan di jalan raya, tiba-tiba ada orang mengamuk, mana yang bertemu ditikamnya, kita pun kena.

Kompor minyak sedang orang perempuan bertanak di dapur, tiba-tiba meletus. Perempuan yang tengah beranak itu dikeluyut mintak tanah terbakar dan mati.

Orang sedang naik sepeda kencang, tiba-tiba terbentur ke batu besar, terlempar badannya, kena tonggak kawat, pecah kepalanya dan mati.

Maka semua yang dijadikan Allah itu mungkin saja ada bahayanya, yang tidak kita sangka:

Januari 1973 meletus gunung di Iceland dengan tiba-tiba padahal menurut penyelidikan ahli-ahli sudah 7000 tahun gunung itu tidak berapi lagi.

Kita manusia ini hanya satu makhluk kecil saja hidup di antara makhluk Allah yang lebih besar dan lebih dahsyat.

Sepaku kecil yang terlepas daripada terompah orang di jalan raya. Apalah artinya sepaku kecil itu.

Tiba-tiba terpijak di kaki seorang yang sedang berjalan kaki, karena kebetulan dia tidak memakai alas kaki.Sepaku itu berkarat dan karatnya itu berbisa. Dia terpijak oleh telapak kaki,

lalu pada luka kecil itu timbul infeksi keracunan darah. Tidak lama kemudian matilah orang yang kena infeksi itu setelah paku kecil yang bercampak di tengah jalan yang tidak berarti itu.

Sebab itu maka dapatlah dikatakan bahwa di mana-mana ada bahaya. Kita tidak boleh lupa hal ini.

Allah sebagai Pencipta seluruh alam Maha Kuasa pula menyelipkan bahaya pada barang-barang atau sesuatu yang kita pandang remeh.

Oleh sebab itu di dalam ayat ini kita disuruh memperlindungkan diri kepada Tuhan dalam namanya sebagai RABB, penjaga,

pemelihara, pendidik dan pengasuh, agar diselamatkanlah kiranya kita daripada segala bahaya yang mungkin ada saja di seluruh Alam Yang Tuhan Ciptakan.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Falaq | 113 : 2 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Falaq |113:3|

وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ

wa min syarri ghoosiqin iżaa waqob

dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,

And from the evil of darkness when it settles

Tafsir
Jalalain

(Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita) artinya dari kejahatan malam hari apabila telah gelap, dan dari kejahatan waktu purnama apabila telah terbenam.

Alazhar

"Dan dari kejahatan malam apabila dia telah kelam." (ayat 3). Apabila matahari telah terbenam dan malam telah datang menggantikan siang,

bertambah lama bertambah tersuruklah matahari itu ke sebalik bumi dan bertambah kelamlah malam. Kelamnya malam merobah sama sekali suasana.

Di rimba-rimba belukar yang lebat, di padang-padang dan gurun pasir timbullah kesepian dan keseraman mencekam.

Maka dalam malam hari itu berbagai ragamlah bahaya dapat terjadi. Binatang-binatang berbisa seperti ular, kala dan lipan,

keluarlah gentayangan di malam hari. Kita tidur dengan enak, siapa yang memelihara kita dari bahaya tengah kita tidur itu kalau bukan Tuhan.

Dan orang pemaling pun keluar dalam malam hari, sedang orang enak tidur. Kadang-kadang demikian enaknya tidur,

sehingga segala barang-barang berharga yang ada dalam rumah diangkat dan diangkut pencuri kita samasekali tidak tahu.

Setelah bangun pagi baru kita tercongong melihat barang-barang yang penting, milik-milik kita yang berharga telah licin tandas dibawa maling.

Dalam kehidupan modern dalam kota yang besar-besar lebih dahsyat lagi bahaya malam.

Orang yang tenggelam dalam lautan hawa nafsu, yang tidak lagi menuntut kesucian hidup,

pada malam hari itulah dia keluar dari rumah ke tempat-tempat maksiat. Di malam harilah harta-benda dimusnahkan di meja judi atau dalam pelukan perempuan jahat.

Di malam hari suami mengkhianati isterinya. Di malam harilah gadis-gadis remaja yang hidup bebas dirusakkan perawannya,

dihancurkan hari depannya oleh manusia-manusia yang tidak pula mengingat lagi hari depannya sendiri.

Sebab itu maka di segala zaman disuruhlah kita berlindung kepada Allah sebagai Rabb dari bahaya kejahatan malam apabila dia telah kelam.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Falaq | 113 : 3 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Falaq |113:4|

وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ

wa min syarrin-naffaaṡaati fil-'uqod

dan dari kejahatan (perempuan-perempuan) penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya),

And from the evil of the blowers in knots

Tafsir
Jalalain

(Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus) yaitu tukang-tukang sihir wanita yang menghembuskan sihirnya (pada buhul-buhul) yang dibuat pada pintalan,

kemudian pintalan yang berbuhul itu ditiup dengan memakai mantera-mantera tanpa ludah. Zamakhsyari mengatakan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh anak-anak perempuan Lubaid yang telah disebutkan di atas tadi.

Alazhar

"Dan dari kejahatan wanita-wanita peniup pada buhul-buhul." (ayat 4). Yang dimaksud di sini ialah bahaya dan kejahatan mantra-mantra sang dukun.

Segala macam mantra atau sihir yang digunakan untuk mencelakakan orang lain.

Ada satu perbuatan yang disebut TUJU! Dalam pemakaian kata secara umum,

kata tuju berarti titik akhir yang dituju dalam perjalanan. Yang boleh dikatakan juga dalam bahasa Arab maqshud. Apa yang dituju, dengan apa yang dimaksud adalah sama artinya.

Tetapi di dalam Ilmu Sihir dan mantra dukun-dukun, TUJU itu mempunyai arti yang lain.

Yaitu menujukan ingatan, fikiran dan segala kekuatan kepada orang tertentu, menujukan kekuatan batin terhadap orang itu,

dengan maksud jahat kepadanya, sehingga walaupun berjarak yang jauh sekali, akan berbekas juga kepada diri orang itu.

Dengan adanya ayat ini nyatalah bahwa Al-Qur'an mengakui adanya hal-hal yang demikian.

Jiwa manusia mempunyai kekuatan batin tersendiri di luar dari kekuatan jasmaninya. Kekuatan yang demikian bisa saja digunakan untuk maksud yang buruk.

Di dalam bahasa Minangkabau kata-kata TUJU itu terdapat sebagai bahagian dari sihir. Ada TUJU gelang-gelang,

yaitu dengan membulatkan ingatan jahat kepada orang yang dituju, orang itu dapat saja sakit perut.

Gelang-gelang atau cacing yang dalam perut orang itu bisa membangkitkan penyakit yang membawa sengsara,

bahkan membawa maut bagi yang dituju! Gelang-gelang Si Raya Besar, atau gelang-gelang si Ma-u-wek!

Selain dari itu ada Tuju yang bernama gayung, ada yang bernama tinggam, ada yang bernama gasing.

Dalam bahasa Jawa begitu pula rupanya yang dimaksud dengan kata-kata "nuju wong", yang arti harfiahnya menuju orang, maksudnya ialah menyihir orang.

Di dalam ayat 4 Surat Al-Falaq ini kita berlindung daripada kejahatan wanita-wanita peniup pada buhul-buhul.

Karena di zaman dahulu tukang mantra yang memantrakan dan meniup-niupkan itu kebanyakan ialah perempuan!

Di Eropa pun tukang-tukang sihir yang dibenci itu diperlambangkan dengan perempuan-perempuan tua yang telah ompong giginya dan mukanya seram menakutkan.

Di hadapannya terjerang sebuah periuk yang selalu dihidupkan api di bawahnya dan isinya macam-macam ramuan. Di antara ramuan itu ialah anak kecil hasil perzinaan yang baru lahir!

Maka dalam ayat ini disebutkan bahwa perempuan tukang sihir itu meniup atau menghembus-hembus barang ramuan yang dia bungkus,

dan bungkusan itu mereka ikat dengan tali yang dibuhulkan.Isinya ialah barang-barang yang kotor atau barang yang mengandung arti untuk TUJU tadi.

Misalnya didapati di dalamnya jarum 7 buah, jarum itu guna menusuk-nusuk perasaan orang yang dituju,

sehingga selalu merasa sakit. Ada juga cabikan kain kafan, atau tanah pada perkuburan yang paling baru.

Ada juga batu nisan (mejan). Pendeknya barang-barang ganjil yang mengandung kepercayaan sihir (magis) dengan maksud menganiaya.

Memang, jiwa manusia ini bisa saja dibawa kepada perbuatan yang buruk. Maka kalau jiwa orang yang kena tuju itu lemah,

tidak ada pegangan dan tidak ada perlindungkan sejati terhadap Allah, dia bisa saja tewas karena mantra dukun tukang tiup tersebut.

Maka dalam ayat ini seorang yang telah kokoh kepercayaannya kepada Allah,merasa yakin bahwa tuju jahat tukang sihir atau dukun jahat itu tidak akan mempan terhadap dirinya.

Tuhan berfirman di dalam Al-Qur'an dengan tegas:"Dan lemparkanlah apa yang dalam tanganmu itu,

niscaya akan ditelannya apa-apa yang mereka bikin-bikin itu. Karena sesungguhnya apa yang mereka bikin itu hanyalah tipu daya tukang sihir.

Dan tidaklah akan menang tukang sihir, biarpun dari mana mereka datang." Thaahaa : 69Dan di dalam Surat Al-Baqarah (Surat 2 ayat 102). Diterangkan bahwa Harut dan Marut di negeri Babil mengajarkan sihir,

terutama sihir cara bagaimana menimbulkan kebencian di antara dua orang suami isteri, sehingga berkelahi atau bercerai.

Dalam ayat ini terbayang bahwa maksud sihir demikian bisa saja berhasil. Tetapi di tengah ayat itu tertulis:

"Dan ahli sihir itu sekali-kali tidaklah akan memberi mudharat, (sekali-kali tidaklah akan membahayakan) dengan sihirnya itu kepada seseorang pun kecuali dengan izin Allah."

Oleh sebab itu maka dianjurkanlah kita di dalam ayat ini memperlindungkan diri kepada Allah,

Tuhan Yang Maha Kuasa yang menjadikan dan mentakdirkan segala sesuatu agar kita terpelihara daripada hembusan tukang sihir,

laki-laki ataupun perempuan dengan buhul-buhul ramuan sihir itu. Sebab bila kita berlindung kepada Allah,

tiada suatu pun alam ini, sebab dia perbuatan Allah, yang akan memberi bekas atas diri kita.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Falaq | 113 : 4 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Falaq |113:5|

وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

wa min syarri ḥaasidin iżaa ḥasad

dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki.

And from the evil of an envier when he envies."

Tafsir
Jalalain

(Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki) atau apabila ia menampakkan kedengkiannya lalu berusaha atas kedengkian yang dipendamnya itu,

sebagaimana yang telah dikerjakan oleh Lubaid si Yahudi tadi; dia termasuk orang-orang yang dengki terhadap Nabi saw. Ketiga jenis kejahatan yang disebutkan sesudah lafal Maa Khalaq,

padahal semuanya itu telah terkandung di dalam maknanya, hal ini tiada lain mengingat kejahatan yang ditimbulkan oleh ketiga perkara tersebut sangat parah.

Alazhar

"Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia melakukan kedengkian." (ayat 5). Pada hakikatnya dengki itu adalah satu penyakit yang menimpa jiwa orang yang dengki itu.

Dalam bahasa Baratnya dikatakan bahwa orang yang dengki itu adalah abnormal, atau kurang beres jiwanya.

Sakit hatinya melihat nikmat yang dianugerahkan Allah kepada seseorang padahal dia sendiri tidaklah dirugikan oleh pemberian Allah itu.

Oleh karena dengki adalah semacam penyakit, atau kehilangan kewarasan fikiran,

maka bisa saja si dengki itu bertindak yang tidak-tidak kepada orang yang didengkinya. Misalnya difitnahkannya. Dikatakannya mencuri padahal tidak mencuri.

Dikatakannya memusuhi pemerintah, padahal tidak memusuhi pemerintah,

sehingga lantaran pengaduannya orang yang didengkinya itu ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara, ditahan bertahun-tahun dengan tidak ada pemeriksaan sama sekali.

Atau dituduhnya seorang perempuan baik-baik berkhianat kepada suaminya. Atau dibuatnya apa yang kita namai Surat Kaleng!

"Hasad atau dengki dosa kepada Allah yang mula dibuat di langit, dan dengki juga dosa yang mula-mula dibuat orang di bumi.

Dosa di langit ialah dengki iblis kepada Adam. Dosa di bumi ialah dengki Qabil kepada Habil."

Berkata Hakim (ahli hikmat): "Orang yang dengki memusuhi Allah pada lima perkara: (1) Bencinya kepada Allah mengapa memberikan nikmat kepada orang lain,

(2) Sakit hatinya melihat pembahagian yang dibahagikan Tuhan, – "Seakan-akan dia berkata: "Mengapa dibagi begitu?"

(3) Dia menantang Allah, karena Allah memberi kepada siapa yang Dia kehendaki, (4) Dia ingin sekali supaya nikmat yang telah diberikan Allah kepada seseorang

, agar dicabut Tuhan kembali, (5) Dia bersekongkol dengan musuh Tuhan dan musuhnya sendiri, yaitu Iblis."

Ahli hikmat yang lain menulis pula: "Tidak ada yang akan didapat oleh orang yang dengki itu di dalam suatu majlis selain dari sesal dan jengkel

, dan tidak ada yang akan didapatnya dari Malaikat selain dari kutuk dan kebencian

, dan tidak ada yang akan didapatinya di akhirat kelak selain dari dukacita dan terbakat,

dan tidak ada yang akan didapatnya dari Allah selain dari dijauhkan dan dibenci.

BENARKAH NABI MUHAMMAD SAW PERNAH KENA SIHIR? Menurut dari yang dinukil oleh Asy-Syihab dari kitab "At-Ta'wilat" karangan Abu Bakar Al-Asham dari hal peristiwa Nabi SAW kena sihir.

Menurut beliau ini, Hadis berkenaan dengan Nabi SAW kena sihir itu adalah matruk, artinya ialah Hadis yang mesti ditinggalkan dan tidak boleh dipakai.

Karena kalau Hadis demikian diterima, berarti kita mengakui apa yang didakwakan oleh orang kafir,

bahwa Nabi SAW telah (mempan) kena sihir. Padahal yang demikian itu sangat bertentangan dengan Nash yang ada dalam Al-Qur'an sendiri

. Dengan tegas Tuhan berfirman:"Allah memelihara engkau dari manusia."Al-Maidah : 67

"Dan tidaklah akan berjaya tukang sihir itu, bagaimanapun datangnya."Thaahaa : 69

Dan lagi kalau riwayat Hadis itu diterima, berarti kita menjatuhkan martabat nubuwwah. Dan lagi kalau Hadis itu dibenarkan,

berarti bahwa sihir bisa saja membekas kepada Nabi-nabi dan orang-orang yang shalih

, yang berarti mengakui demikian besar kekuasaan tukang-tukang sihir yang jahat itu sehingga dapat mengalahkan Nabi

dan semuanya itu adalah tidak benar! Dan orang-orang kafir pun dapat saja merendahkan martabat Nabi-nabi

dan orang-orang yang shalih itu dengan mencap "Mereka itu kena sihir." Dan kalau benar-benar hal ini terjadi,

niscaya benarlah dakwa orang-orang yang kafir, dan dengan demikian jelaslah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallama ada aibnya

, dan ini adalah tidak mungkin." – Sekian disalinkan dari At-Ta'wilat buah tangan Abu Bakar Al-Asham tersebut.

Hadis Nabi kena sihir ini termasuk dalam catatan Hadis Shahih yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, yang berasal dari Hadis Aisyah,

bahwa beliau SAW pernah disihir oleh seorang Yahudi dari Bani Zuraiq, namanya Labid bin Al-A'sham.

Dikatakan dalam Hadis itu bahwa Nabi merasa seakan-akan beliau berbuat sesuatu padahal tidaklah pernah diperbuatnya.

Demikianlah beliau rasakan beberapa lamanya. Sampai pada suatu waktu Nabi berkata kepada Aisyah: "Hai Aisyah!

Aku diberi perasaan bahwa Allah memberi fatwa kepadaku pada perkara yang aku meminta fatwa pada-Nya,

maka datanglah kepadaku dua malaikat, yang duduk ke sisi kepalaku dan yang seorang lagi di sisi kakiku.

Lalu berkata yang duduk dekat kepalaku itu kepada yang duduk di ujung kakiku: 'Orang ini diobatkan orang!'

(Disihir? Kawannya bertanya: 'Siapa yang mengobatkannya? (menyihirnya?)'). Yang di kepala menjawab: "Labid bin Al-A'sham."Kawannya bertanya: "Dengan apa?"

Yang di kepala menjawab: "Pada kudungan rambut dan patahan sisir dan penutup kepala laki-laki,

dihimpit dengan batu dalam sumur Dzi Auran." – Tersebut di Hadis itu bahwa Nabi pergi ke sumur itu membongkar ramuan yang dihimpit dengan batu itu dan bertemu.

Dalam riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW menyuruh Ali Bin Abu Thalib dan Zubair bin Awwam dan 'Ammar bin Yasir memeriksa sumur itu dan mencari ramuan tersebut.

Lalu ditimba air sumur itu dan diselami ke bawah sampai bertemu bungkusan ramuan tersebut yang dihimpit dengan batu.Yang bertemu di dalam kain kasah bungkusan itu ialah guntingan rambut Nabi SAW,

patahan sisir beliau dan sebuah potongan kayu yang diikat dengan 11 buah ikatan dan di tiap ikatan itu ditusukkan jarum.

Lalu diturunkan Allah kedua Surat ini, jumlah ayat keduanya, "Al-Falaq dan An-Nas" ialah 11 ayat pula.

Tiap-tiap satu ayat dibaca, dicabut jarum dan dibuka buhulnya, dan tiap satu jarum dicabut dan satu buhul diungkai,

terasa satu keringanan oleh Nabi SAW, sehingga sampai diuraikan buhul dan dicabut jarum yang 11 itu, dan terasa oleh Nabi SAW bahwa beliau sembuh sama sekali.

Lalu bertanyalah mereka kepada beliau: "Apakah orang jahat itu tidak patut dibunuh saja?

Beliau menjawab: "Allah telah menyembuhkan daku, dan aku tidak suka berbuat jahat kepada orang."

Dalam riwayat yang dibawakan oleh Al-Qusyairi pun tersebut bahwa seorang pemuda Yahudi bekerja sebagai khadam Nabi SAW.

Pada suatu hari anak itu dibisiki oleh orang-orang Yahudi supaya mengambil rambut-rambut Nabi yang gugur ketika disisir bersama patahan sisir beliau, lalu diserahkannya kepada yang menyuruhnya itu. Maka mereka sihirlah beliau,

dan yang mengepalai mensihir itu ialah Labid bin Al-A'sham. Lalu Al-Qusyairi menyalinkan lagi riwayat Ibnu Abbas tadi.

Supaya kita semuanya maklum, meskipun beberapa tafsir yang besar dan ternama menyalin berita ini dengan tidak menyatakan pendapat,

sebagai Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Al-Khazin bagi Ibrahim Al-Baghdadi; malahan beliau ini mempertahankan kebenaran riwayat itu berdasar kepada shahih riwayatnya,

Bukhari dan Muslim. Namun yang membantahnya ada juga. Di antaranya Ibnu Katsir.

Ibnu Katsir setelah menyalinkan riwayat ini seluruhnya, membuat penutup demikian bunyinya:

"Demikianlah mereka meriwayatkan dengan tidak lengkap sanadnua, dan di dalamnya ada kata-kata yang gharib,

dan pada setengahnya lagi ada kata-kata yang mengandung nakarah syadidah (sangat payah untuk diterima).

Tetapi bagi setengahnya ada juga syawahid (kesaksian-kesaksian) dari segala yang telah tersebut itu."

Almarhum orang tua saya dan guru saya yang tercinta, Hadratusy-Syaikh Dr. Abdulkarim Amrullah di dalam Tafsir beliau yang bernama "Al-Burhan"

menguatkan riwayat ini juga. Artinya, bahwa beliau membenarakan Nabi SAW kena sihir. Dengan alasan Hadis ini adalah shahih, Bukhari dan Muslim merawikan.

Dengan menulis begitu beliau membantah apa yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juzu' 'Ammanya. Karena Syaikh Muhammad Abduh menguatkan juga

, sebagai yang tersebut di dalam kitab At-Ta'wilat, buah tangan Abu Bakar Al-Asham yang telah kita salinkan di atas tadi,

bahwa tidaklah mungkin seorang Nabi atau Rasul, ataupun orang yang shalih dapat terkena oleh sihir,

berdasar kepada firman Tuhan sendiri di atas tadi pun telah kita salinkan, (Al-Maidah ayat 67, dan Thaha ayat 69).

Bahwa tidak mungkin sihir dapat mengena kepada seseorang kalau Allah tidak izinkan.

Dan terhadap kepada Rasul-rasul dan Nabi-nabi sudah dipastikan oleh Tuhan bahwa sihir itu akan gagal, walau dengan cara bagaimana pun datangnya.

Maka Penafsir yang sezaman dengan kita ini yang menolak Hadis itu, walaupun shahih, Bukhari dan Muslim yang merawikan,

ialah Syaikh Muhammad Abduh dalam Tafsir Juzu' 'Ammanya, Al-Qasimi dengan tafsir "Mahasinut-Ta'wil"nya yang terkenal,

dan yang terakhir kita dapati ialah Sayid Quthub di dalam tafsirnya "Fi Zhilalil Qur'an" menegaskan bahwa Hadis ini adalah Hadis Al-Ahad, bukan mutawatir.

Maka oleh karena jelas berlawan dengan ayat yang sharih dari Al-Qur'an tidak mengapa kalau kita tidak percaya bahwa Nabi Muhammad

bisa terkena oleh sihir walaupun perawinya Bukhari dan Muslim. Beberapa Ulama yang besar-besar,

di antara Imam Malik bin Anas sendiri banyak menyatakan pendirian yang tegas menolak suatu Hadis Al-Ahad kalau berlawanan dengan ayat yang sharih.

Misalnya beliau tidak menerima Hadis bejana dijilat anjing mesti dibasuh 7 kali, satu kali di antaranya dengan tanah.

Karena di dalam Al-Qur'an ada ayat yang terang jelas, bahwa binatang buruan yang digungung anjing dengan mulutnya,

halal dimakan sesudah dibasuh seperti biasa dengan tidak perlu 7 kali, satunya dengan tanah.

Ulama yang banyak mencampurkan "Filsafat" dalam tafsirnya atau memandang segala soal dari segi Filsafat dan Ilmu Alam,

yaitu Syaikh Thanthawi Jauhari menulis tentang Hadis Nabi kena sihir itu demikian:

"Segolongan besar ahli menolak Hadis-hadis ini dan menetapkannya sebagai merendahkan martabat Nubuwwat.

Dan sihir yang menyebabkan Nabi merasa seakan-akan dia berbuat sesuatu padahal dia bukan berbuat, adalah amat bertentangan dengan Kebenaran, dipandang dari dua sudut:

Pertama: Bagaimana Nabi SAW dapat kena sihir, ini adalah menimbulkan keraguan dalam syariat. Kedua: Sihir itu pada hakikatnya tidaklah ada.

Alasan ini ditolak oleh yang mempertahankan. Mereka berkata: "Sihir itu tidaklah ada hubungannya melainkan dengan hal-hal yang biasa terjadi saja.

Dia hanyalah semacam penyakit. Sedang Nabi-nabi itu dalam beberapa hal sama saja dengan kita orang biasa ini,

makan minum, tidur bangun, sakit dan senang. Kalau kita mengakui kemungkinannya tidur,

mesti kita akui kemungkinan beliau yang lain. Dan yang terjadi pada Nabi kita ini hanyalah semacam penyakit yang boleh saja terjadi pada beliau sebagai manusia

, dengan tidak ada pengaruhnya sama sekali kepada akal beliau dan wahyu yang beliau terima.

Dan kata orang itu pula: "Pengaruh jiwa dengan jalan mantra (hembus atau tuju) kadang-kadang ada juga, meskipun itu hanya sedikit sekali.

Maka semua ayat-ayat dan Hadis-hadis ini dapatlah memberi dua kesan: (1) Jiwa bisa berpengaruh dengan jalan membawa mudharrat,

dan jiwa pun bisa berpengaruh membawa yang baik. Maka si Labid bin Al-A'sham orang Yahudi itu telah menyihir Nabi dan membekaskan mudharrat.

Namun dengan melindungkan diri kepada Allah dengan kedua Surat "Al-Falaq" dan "An-Nas",

mudharrat itu hilang dan beliau pun sembuh." – Sekian Syaikh Thanthawi Jauhari.

Tetapi ada satu lagi yang perlu diingat! Kedua Surat ini tidak turun di Madinah, tetapi turun di Makkah,

dan di Makkah belum ada perbenturan dengan Yahudi.Sekarang mari kita lihat pula betapa pendapat Jarullah Az-Zamakhsyari di dalam tafsirnya "Al-Kasysyaf".

Tafsir beliau terkenal sebagai penyokong Aliran Mu'tazilah, sebagai Ar-Razi penyokong Mazhab Asy-Syafi'i.

Penganut faham Mu'tazilah tidaklah begitu percaya terhadap pengaruh sihir, atau mantra atau tuju sebagai yang kita katakan di atas tadi.

Sebab itu maka seketika menafsirkan ayat 4: "Dan daripada kejahatan perempuan-perempuan yang meniup pada buhul-buhul," beliau menafsirkan demikian:

"Perempuan-perempuan yang meniup, atau sekumpulan perempuan tukang sihir yang membuhulkan pada jahitan,

lalu disemburnya dengan menghembus. Menyembur ialah menghembus sambil menyemburkan ludah.

Semuanya itu sebenarnya tidaklah ada pengaruh dan bekasnya, kecuali kalau di situ ada semacam ramuan yang termakan yang memberi mudharrat,

atau terminum atau tercium, atau yang kena sihir itu menghadapkan perhatian kepadanya dari berbagai wajah.

Tetapi Allah Azza wa Jalla kadang-kadang berbuat juga suatu hal pada seseorang untuk menguji keteguhan hatinya,

apakah dia orang yang belum mantap fahamnya atau orang awam yang masih bodoh.

Maka orang-orang yang dungu dan yang berfikir tidak teratur mengatakan kesakitan yang ditimpakan Allah kepadanya adalah karena perbuatan orang!

Adapun orang yang telah mendapat ketetapan pendirian karena teguh imannya tidaklah dapat dipengaruhi oleh itu.

Kalau engkau bertanya kepadaku: "Kalau demikian apakah yang dimaksud dengan bunyi ayat melindungkan diri

kepada Allah dari kejahatan perempuan yang meniup pada buhul-buhul itu?

Saya akan jawab dengan tiga macam keterangan: 1. Artinya ialah berlindung kepada Allah dari kejahatan mereka itu, yaitu membuat ramuan sihir, dan berlindung kepada Allah dari dosanya.

2. Berlindung kepada Allah daripada kepandaian wanita-wanita itu memfitnah manusia dengan sihirnya dan penipuannya dengan kebatilan.

3. Berlindung kepada Allah jangan sampai Allah menimpakan suatu musibah tersebab semburannya itu." – Sekian kita salin.

Dan di dalam Tafsirnya "Al-Kasysyaf" itu tidak ada dia menyinggung-nyinggung Hadis-hadis yang mengatakan Nabi pernah kena sihir orang Yahudi itu.

Karena menurut keterangan di atas, meskipun memang ada perempuan mengadakan mantra,

menyembur, meniup, namun bekasnya tidak akan ada, kecuali kalau ada yang termakan, terminum,

tercium atau tersentuh barang ramuan yang membahayakan. Artinya serupa juga dengan racun.

Maka menurut pendapatnya itu, sedangkan kepada manusia yang biasa tidak ada bekas hembus dan sembur itu, apatah lagi kepada Nabi SAW.

Pendapat yang dipilih oleh penafsir Abu Muslim lain lagi. Beliau menafsirkan ayat berlindung daripada kejahatan perempuan-perempuan

yang meniup pada buhul-buhul itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan sihir.

Menurut beliau buhul-buhul yang dimaksud di ujung ayat 4 ini ialah suatu maksud atau rencana yang telah disusun oleh seorang laki-laki.

Perempuan meniup-niup itu menurut beliau ialah bujuk dan rayuan perempuan, yang dengan lemah-lembut,

lenggang-lenggok gemalai terhadap laki-laki, merayu dan membujuk,

sehingga maksud laki-laki yang tadinya telah bulat menjadi patah, sehingga rencananya berobah dan maksudnya bertukar. Berdasar kepada ayat 28 dari Surat 12, Surat Yusuf:

"Sesungguhnya tipudaya kalian sangatlah besarnya, hai perempuan."

Berapa banyaknya benteng-benteng pertahanan laki-laki menjadi runtuh berantakan karena ditembak oleh peluru senyuman dan bujuk rayuan perempuan.

Maka dapatlah kita ambil kesimpulan bahwasanya masalah tentang Hadis yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim tentang Nabi SAW kena sihir oleh orang Yahudi itu,

sampai sihir itu membekas kepada beliau, bukanlah baru zaman sekarang dibicarkan orang. Ibnu Qatibah telah memperbincangkannya di dalam "Ta'wil Mukhtalafil-Hadits",

dan Ar-Razi pun demikian pula. Keduanya sama-sama patut dipertimbangkan.Adapun pendapat Az-Zamakhsyari yang mengadakan sama sekali pengaruh sihir,

dapatlah kita tinjau kembali setelah maju penyelidikan orang tentang kekuatan Roh (Jiwa) manusia,

tentang pengaruh jiwa atas jiwa dari tempat yang jauh, sebagai telepatih dan sebagainya.

Dan kita cenderunglah kepada pendapat bahwasanya Jiwa seorang Rasul Allah tidaklah akan dapat dikenai oleh sihirnya seorang Yahudi.

Jiwa manusia yang telah dipilih Allah (Musthafa) bukanlah sembarang jiwa yang dapat ditaklukkan sedemikian saja.

Sebab itu maka pendapat Syaikh Thanthawi Jauhari yang menyamakan Roh Rasul dengan Roh manusia biasa,

karena sama-sama makan, sama tidur, sama bangun dan sebagainya adalah satu pendapat yang meminta tinjauan lebih mendalam.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Falaq | 113 : 5 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat An-Nas |114:1|

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

qul a'uużu birobbin-naas

Katakanlah, Aku berlindung kepada Tuhannya manusia,

Say, "I seek refuge in the Lord of mankind,

Tafsir
Jalalain

(Katakanlah, "Aku berlindung kepada Rabb manusia) Yang menciptakan dan Yang memiliki mereka; di sini manusia disebutkan secara khusus sebagai penghormatan buat mereka;

dan sekaligus untuk menyesuaikan dengan pengertian Isti'adzah dari kejahatan yang menggoda hati mereka.

Alazhar

"Katakanlah" (pangkal ayat 1). Hai Utusan-Ku, dan ajarkan jugalah kepada mereka yang percaya: "Aku berlindung dengan Pemelihara manusia." (ujung ayat 1).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nas | 114 : 1 |

Tafsr ayat 1-6

Ketiga ayat yang pertama merupakan sebagian dari sifat-sifat Allah Swt. yaitu sifat Rububiyah (Tuhan), sifat Al-Mulk (Raja), dan sifat Uluhiyyah (Yang disembah). Dia adalah Tuhan segala sesuatu, Yang memilikinya

dan Yang disembah oleh semuanya. Maka segala sesuatu adalah makhluk yang diciptakan-Nya dan milik-Nya serta menjadi hamba-Nya. Orang yang memohon perlindungan diperintahkan agar dalam permohonannya itu

menyebutkan sifat-sifat tersebut agar dihindarkan dari kejahatan godaan yang bersembunyi, yaitu setan yang selalu mendampingi manusia. Karena sesungguhnya tiada seorang manusia pun melainkan mempunyai

qarin (pendamping)nya dari kalangan setan yang menghiasi perbuatan-perbuatan fahisyah hingga kelihatan bagus olehnya. Setan itu juga tidak segan-segan mencurahkan segala kemampuannya untuk menyesatkannya melalui

bisikan dan godaannya dan orang yang terhindar dari bisikannya hanyalah orang yang dipelihara oleh Allah Swt. Di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا قَدْ وُكِلَ بِهِ قَرِينَةٌ


Tiada seorang pun dari kamu melainkan telah ditugaskan terhadapnya qarin (teman setan) yang mendampinginya. Mereka bertanya, "Juga termasuk engkau, ya Rasulullah?" Beliau Saw. menjawab:


«نَعَمْ إِلَّا أَنَّ اللَّهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ فَلَا يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ»


Ya, hanya saja Allah membantuku dalam menghadapinya; akhirnya ia masuk Islam, maka ia tidak memerintahkan kepadaku kecuali hanya kebaikan. Dan di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Anas tentang kisah kunjungan

Safiyyah kepada Nabi Saw. yang saat itu sedang i'tikaf, lalu beliau keluar bersamanya di malam hari untuk menghantarkannya pulang ke rumahnya. Kemudian Nabi Saw. bersua dengan dua orang laki-laki dari kalangan Ansar Di saat melihat Nabi Saw

bergegaslah keduanya pergi dengan cepat. Maka Rasulullah Saw. bersabda:Perlahan-lahanlah kamu berdua, sesungguhnya ia adalah Safiyyah binti Huyayyin. Maka keduanya berkata.”Subhanallah, ya Rasulullah." Rasulullah Saw. bersabda:


«إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا- أَوْ قَالَ شَرًّا»


Sesungguhnya setan itu mengalir ke dalam tubuh anak Adam melalui aliran darahnya. Dan sesungguhnya aku merasa khawatir bila dilemparkan sesuatu (prasangka buruk) ke dalam hati kamu berdua. Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan,

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bahr, telah menceritakan kepada kami Addiy ibnu Abu Imarah, telah menceritakan kepada kami Ziyad An-Numairi, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


«إِنَّ الشَّيْطَانَ وَاضِعٌ خَطْمَهُ عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ فَإِنْ ذَكَرَ الله خَنَسَ، وَإِنْ نَسِيَ الْتَقَمَ قَلْبَهُ فَذَلِكَ الْوَسْوَاسُ الْخَنَّاسُ»


Sesungguhnya setan itu meletakkan belalainya di hati anak Adam. Jika anak Adam mengingat Allah, maka bersembunyi; dan jika ia lupa kepada Allah, maka setan menelan hatinya; maka itulah yang dimaksud dengan bisikan setan yang tersembunyi.

Hadis ini berpredikat garib. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Asim, bahwa ia pernah mendengar Abu Tamimah yang menceritakan hadis

berikut dari orang yang pernah dibonceng oleh Nabi Saw. Ia mengatakan bahwa di suatu ketika keledai yang dikendarai oleh Nabi Saw. tersandung, maka aku berkata, "Celakalah setan itu." Maka Nabi Saw. bersabda:


«لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ: تَعِسَ الشَّيْطَانُ تَعَاظَمَ وَقَالَ: بِقُوَّتِي صَرَعْتُهُ وَإِذَا قُلْتَ: بِاسْمِ اللَّهِ تَصَاغَرَ حَتَّى يصير مثل الذباب وغلب


Janganlah engkau katakan, "Celakalah setan.” Karena sesungguhnya jika engkau katakan, "Celakalah setan, "maka ia menjadi bertambah besar, lalu mengatakan, "Dengan kekuatanku, aku kalahkan dia.” Tetapi jika engkau

katakan, "Bismillah, "maka mengecillah ia hingga menjadi sekecil lalat. Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad, sanadnya jayyid lagi kuat. Dan di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan bahwa hati itu manakala ingat kepada Allah

Setan menjadi mengecil dan terkalahkan. Tetapi jika ia tidak ingat kepada Allah, maka setan membesar dan dapat mengalahkannya.Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami

Abu Bakar Al-Hanafi, telah menceritakan kepada kami Ad-Dahhak ibnu Usman, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


«إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا كَانَ فِي الْمَسْجِدِ جَاءَهُ الشَّيْطَانُ فَأَبَسَ بِهِ كَمَا يَبِسُ الرَّجُلُ بِدَابَّتِهِ، فَإِذَا سَكَنَ لَهُ زَنَقَهُ أَوْ أَلْجَمَهُ»


Sesungguhnya seseorang di antara kamu apabila berada di dalam masjid, lalu setan datang, lalu setan diikat olehnya sebagaimana seseorang mengikat hewan kendaraannya. Dan jika ia diam (tidak berzikir kepada Allah),

maka setan berbalik mengikat dan mengekangnya. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa kalian dapat menyaksikan hal tersebut. Adapun yang dimaksud dengan maznuq yakni orang yang diikat pada lehernya,

maka engkau lihat dia condong seperti ini tidak berzikir kepada Allah. Adapun orang yang dikekang, maka ia kelihatan membuka mulutnya dan tidak mengingat Allah Saw. hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad

secara munfarid. Sa'id ibnu Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: setan yang biasa bersembunyi. (An-Nas: 4) Bahwa setan bercokol di atas hati anak Adam Maka apabila ia lupa

dan lalai kepada Allah setan menggodanya; dan apabila ia ingat kepada Allah maka setan itu bersembunyi. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan Qatadah.Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman telah meriwayatkan dari ayahnya,

bahwa pernah diceritakan kepadanya, sesungguhnya setan yang banyak menggoda itu selalu meniup hati anak Adam manakala ia sedang bersedih hati dan juga manakala sedang senang hati. Tetapi apabila ia sedang ingat kepada Allah,

maka setan bersembunyi ketakutan. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, Al-waswas," bahwa makna yang dimaksud ialah setan yang membisikkan godaannya; apabila yang digodanya taat kepada Allah, maka setan bersembunyi. Firman Allah Swt.:


{الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ}


yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. (An-Nas: 5) Apakah makna ayat ini khusus menyangkut Bani Adam saja sebagaimana yang ditunjukkan oleh makna lahiriah ayat, ataukah lebih menyeluruh dari itu

menyangkut Bani Adam dan jin? Ada pendapat mengenainya, yang berarti makhluk jin pun termasuk ke dalam pengertian lafaz an-nas secara prioritas. Ibnu Jarir mengatakan bahwa adakalanya digunakan

lafaz rijalun minal jin (laki-laki dari kalangan jin) ditujukan terhadap mereka, maka tidaklah heran bila mereka (jin) dikatakan dengan istilah an-nas. Firman Allah Swt.:


{مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ}


dari (golongan) jin dan manusia. (An-Nas: 6) Apakah ayat ini merupakan rincian dari firman-Nya: yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. (An-Nas: 5)

Kemudian dijelaskan oleh firman berikutnya: dari (golongan)jin dan manusia. (An-Nas: 6) Hal ini menguatkan pendapat yang kedua. Dan menurut pendapat yang lainnya, firman-Nya berikut ini: dari (golongan) jin dan manusia. (An-Nas: 6)

merupakan tafsir dari yang selalu membisikkan godaannya terhadap manusia, yaitu dari kalangan setan manusia dan setan jin. Sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:


وَكَذلِكَ جَعَلْنا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَياطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً


Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu(manusia). (Al-An'am: 112)Dan semakna dengan apa yang disebutkan oleh Imam Ahmad, bahwa:


حَدَّثَنَا وَكِيع، حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو عُمَر الدِّمَشْقِيُّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدِ بْنِ الْخَشْخَاشِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ، فَجَلَسْتُ، فَقَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، هَلْ صَلَّيْتَ؟ ". قُلْتُ: لَا. قَالَ: "قُمْ فَصَلِّ". قَالَ: فَقُمْتُ فَصَلَّيْتُ، ثُمَّ جَلَسْتُ فَقَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، تَعَوَّذْ بِالْلَّهِ مِنْ شَرِّ شَيَاطِينِ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ". قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلِلْإِنْسِ شَيَاطِينُ؟ قَالَ: "نَعَمْ". قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، الصَّلَاةُ؟ قَالَ: "خَيْرُ مَوْضُوعٍ، مَنْ شَاءَ أَقَلَّ، وَمَنْ شَاءَ أَكْثَرَ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا الصَّوْمُ؟ قَالَ: "فَرْضٌ يُجْزِئُ، وَعِنْدَ اللَّهِ مَزِيدٌ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَالصَّدَقَةُ؟ قَالَ: "أَضْعَافٌ مُضَاعَفَةٌ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّهَا أَفْضَلُ؟ قَالَ: "جُهد مِنْ مُقل، أَوْ سِرٌّ إِلَى فَقِيرٍ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الْأَنْبِيَاءِ كَانَ أَوَّلَ؟ قَالَ: "آدَمُ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَنَبِيٌّ كَانَ؟ قَالَ: "نَعِمَ، نَبِيٌّ مُكَلَّم". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَمِ الْمُرْسَلُونَ؟ قَالَ: "ثَلَثُمِائَةٍ وَبِضْعَةَ عَشْرَ، جَمًّا غَفيرًا". وَقَالَ مَرَّةً: "خَمْسَةَ عَشْرَ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّمَا أُنْزِلَ عَلَيْكَ أعظم؟ قَالَ: "آيَةُ الْكُرْسِيِّ: {اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ}


telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Al-Mas’udi, telah menceritakan kepada kami Abu Umar Ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami Ubaid Al-Khasykhasy, dari Abu Zaryang

telah menceritakan bahwa ia datang kepada Rasulullah Saw. yang saat itu berada di dalam masjid. lalu ia duduk. maka Rasulullah Saw. bertanya, "Hai Abu Zar, apakah engkau telah salat?" Aku (Abu Zar) menjawab, "Belum."

Rasulullah Saw. bersabda, "Berdirilah dan salatlah kamu!" Maka aku berdiri dan salat, setelah itu aku duduk lagi dan beliau Saw. bersabda: Hai Abu Zar, mohonlah perlindungan kepada Allah dari kejahatan setan manusia dan setan jin

Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah setan manusia itu ada?" Beliau Saw. menjawab, "Ya ada." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan salat?" Rasulullah Saw. menjawab: Salat adalah sebaik-baik pekerjaan; barang

siapa yang ingin mempersedikitnya atau memperbanyaknya (hendaklah ia melakukan apa yang disukainya —dari salatnya itu—). Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan puasa?" Rasulullah Saw. menjawab: Amal

fardu yang berpahala dan di sisi Allah ada tambahannya. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan sedekah?" Rasulullah Saw. menjawab, "Pahalanya dilipatgandakan dengan kelipatan yang banyak." Aku bertanya,

"Manakah sedekah yang terbaik, wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. menjawab: Hasil jerih payah dari orang yang merasa sedikit atau yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi kepada orang yang fakir. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah,

nabi manakah yang paling pertama?" Beliau menjawab, "Adam." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah dia seorang nabi?" Nabi Saw. menjawab, "Ya, dia seorang nabi dan juga orang yang pernah diajak bicara langsung oleh Allah Swt."

Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, ada berapakah para rasul itu?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tiga ratus belasan orang, jumlah yang cukup banyak." Di lain kesempatan beliau Saw. bersabda, "Tiga ratus lima belas orang rasul."

Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, wahyu apakah yang paling besar yang pernah diturunkan kepada engkau?" Rasulullah Saw. menjawab: Ayat kursi, yaitu, "Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia

Yang Hidup Kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).”(Al-Baqarah: 255) Imam Nasai meriwayatkan hadis ini melalui Abu Umar Ad-Dimasyqi dengan sanad yang sama Hadis ini telah diriwayatkan dengan sangat panjang

lebar oleh Imam Abu Hatim ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui jalur Lain dan lafaz Lain yang panjang sekali; hanya Allah-Iah Yang Maha Mengetahui.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيع، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ ذَرِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الهَمْداني، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُحَدِّثُ نَفْسِي بِالشَّيْءِ لَأَنْ أَخِرَّ مِنَ السَّمَاءِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَتَكَلَّمَ بِهِ. قَالَ: فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي رَدَّ كَيْدَهُ إِلَى الْوَسْوَسَةِ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan, dari Mansur, dari Zar ibnu Abdullah Al-Hamdani, dari Abdullah ibnu Syaddad, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa seorang lelaki datang kepada

Nabi Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya dalam hatiku timbul suatu pertanyaan yang tidak berani aku mengatakannya. Lebih aku sukai jikalau aku dijatuhkan dari atas langit daripada mengutarakannya."

Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Nabi Saw. bersabda: Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu daya setan hingga hanya sampai batas bisikan (belaka).

Imam Abu Daud dan Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui hadis Mansur, sedangkan menurut riwayat Imam Nasai ditambahkan Al-A'masy, keduanya dari Zar dengan sanad yang sama.

Surat An-Nas |114:2|

مَلِكِ النَّاسِ

malikin-naas

Rajanya manusia,

The Sovereign of mankind.

Tafsir
Jalalain

(Raja manusia.)

Alazhar

"Penguasa manusia."(ayat 2).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nas | 114 : 2 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat An-Nas |114:3|

إِلَٰهِ النَّاسِ

ilaahin-naas

Tuhannya manusia,

The God of mankind,

Tafsir
Jalalain

(Sesembahan manusia) kedua ayat tersebut berkedudukan sebagai Badal atau sifat, atau 'Athaf Bayan, kemudian Mudhaf Ilaih. Lafal An-Naas disebutkan di dalam kedua ayat ini, dimaksud untuk menambah jelas makna.

Alazhar

"Tuhan bagi manusia."(ayat 3).Di dalam Surat yang terakhir dalam susunan Al-Qur'an yang 114 Surat ini, disebutkanlah ajaran bagaimana caranya manusia berlindung kepada Allah dari sesamanya manusia.

Saya sendiri dan saudara yang membaca karangan ini adalah manusia. Dan kita pun hidup di tengah-tengah manusia. Selain dari hubungan kita dengan Allah, kita pun selalu berhubungan dengan sesama manusia.

Tidak ada di antara kita yang dapat membebaskan diri daripada ikatan dengan sesama manusia. Di dalam Surat 3, Ali Imran ayat 112 dengan tegas Allah

memberikan peringatan bahwa kehinaan akan dipikulkan Tuhan kepada kita kecuali dengan berpegang kepada dua tali: tali dari Allah dan tali dari manusia.

Agama sendiri pun, selain mengatur tali perhubungan dengan Allah, juga mengatur tali perhubungan dengan sesama manusia.

Dan kita pun maklum dan mengalami sendiri, bahwa pergaulan dengan sesama manusia itu bukanlah suatu yang mudah.

Yang bagus menurut pendapat kita belum tentu bagus menurut pendapat orang lain.

Langkah cita-cita yang baik belum tentu diterima orang lain. Kalau dipandangnya akan merugikannya, niscaya akan dihambatnya.

Di tengah-tengah gelombang kehidupan manusia yang banyak itu, dengan berbagai macam ragam keinginan, kelakuan, cita-cita,

lingkungan dan pendidikan terseliplah kita, saya dan saudara, sebagai pribadi. Menyisih dari sesama manusia tidak bisa,

dan bergaul terus dengan mereka bukan tak ada pula akibatnya, akibat yang baik ataupun yang buruk. Manusia bisa menguntungkan kita dan bisa membahayakan kita.

Maka diajarkanlah pada Surat yang terakhir ini bagaimana cara kita menghadapi dan hidup di tengah-tengah manusia.

Kita dengan ajaran melalui Nabi SAW disuruh memperlindungkan diri kepada Allah! Karena Allah itulah Rabbun-Naasi, Pemelihara Manusia.

Malikun-Naasi, Penguasa Manusia dan Ilahun-Naasi, Tuhan bagi manusia.Allah adalah Rabbun, Malikun, Ilahun.

Allah adalah Pemelihara, Penguasa dan Tuhan.Allah adalah KHALIQ, artinya Pencipta. Di samping menciptakan seluruh alam,

Allah pun menciptakan manusia, dan manusia itu mempunyai pergaulan hidup. Manusia diberi akal budi,

sehingga manusia hidup di permukaan bumi ini jauh berbeda dengan kehidupan makhluk Allah yang lain.

Sebab itu maka manusia dapat merencanakan apa yang akan dikerjakannya di dalam menempuh jalan hidupnya sampai dunia ini akan ditinggalkannya kelak.

Tidaklah Allah membiarkan saja manusia hidup menurut semau-maunya. "Apakah menyangka manusia itu bahwa ia akan dibiarkan saja hidup terlunta-lunta?”Al-Qiyaamah : 36

Tuhan adalah Rabbun-Naasi, Pemelihara manusia. Tidak dibiarkan terlantar, dipelihara-Nya lahirnya dan batinnya, luarnya dan dalamnya,

jasmaninya dan rohaninya, makanannya dan minumannya. Yang dipelihara-Nya itu termasuk aku,

engkau dan termasuk segala makhluk yang bernama Naas atau Insan dalam dunia ini. Sehingga turun nafas kita,

perjalanan dan goyangan jantung siang dan malam yang tidak pernah berhenti, alat-alat pencerna tubuh, telinga alat pendengar,

mata alat melihat, hidung alat pembau, semuanya dipelihara terus oleh Maha Pemelihara itu, oleh Rabbun itu. Dan Dia adalah pula Malikun-Naasi, Penguasa dari seluruh manusia.

Kalau kalimat malik itu dibaca tidak dipanjangkan bacaan pada mim (tidak dengan madd, panjang dua alif menurut ilmu tajwid),

berartilah dia Penguasa atau Raja. Pemerintah tertinggi atau Sultan. Tetapi kalau malik dibaca dengan dipanjangkan dua alif pada mim, berarti dia Yang Empunya.

Dipanjangkan membaca mim ataupun dibaca tidak dipanjangkan namun pada kedua bacaan itu memang terkandung kedua pengertian Allah itu memang Raja, atau Penguasa

yang mutlak atas diri manusia Maha Kuasa Allah itu mentakdirkan dan mentadbirkan, sehingga mau tidak mau,

kita manusia mesti menurut peraturan yang telah ditentukan-Nya, yang disebut Sunnatullah. Kalau kita hendak dilahirkan-Nya ke dunia,

hanya berasal dari setetes mani, kita pun lahir. Kalau kita hendak dimatikan-Nya, bagaimanapun bertahan, kita pasti mati.

Kita ini Dialah yang empunya. Bahkan nyawa kita sendiri kitalah yang empunya. Namun pada hakikatnya,

yang empunya nyawa kita bukanlah kita, melainkan Dia. Jelas dikatakan-Nya dalam Wahyu-Nya, artinya: Nyawa-Nya, bukan Ruhi-iy: Roh atau nyawaku! (Dengan K, huruf kecil).

Kalau sudah jelas bahwa nyawa kita sendiri bukan kita manusia yang empunya, apalah lagi yang kita kuasai dan kita punyai dalam diri kita ini?Tidak ada!

Maka tidaklah ada artinya mengakui Allah sebagai Rabbun, atau Pemelihara, kalau kita tidak mengakui yang selanjutnya,

yaitu bahwa Allah itu sebagai Malikun adalah sebagai Penguasa atas kita manusia, Raja atas kita manusa, yang Memiliki atas diri seluruh manusia, termasuk aku dan engkau!

Oleh sebab hanya Dia Pemelihara dan hanya Dia Penguasa, maka hanya Dia pulalah yang Ilah, hanya Dia sajalah yang Tuhan,

yang wajar buat disembah dan dipuja. Kepada-Nyalah kembali segala persembahan dan segala pemujaan.

Kita perlindungkan diri kepada Allah, Pemelihara, Penguasa dan Tuhan dari Sarwa Sekalian Alam, dan khusus dari seluruh manusia dari segala marabahaya.

Pada Surat yang telah lalu, Surat 113, Al-Falaq kita memperlindungkan diri kepada Allah sebagai Pemelihara dari pergantian malam kepada siang, dari kejahatan segala apa pun yang Dia jadikan. Kita melindungkan diri kepada-Nya,

dalam keadaan-Nya sebagai Pemelihara dari kegelapan malam, dan kita pun melindungkan diri dari mantra dan tuju tukang sihir,

ataupun dari bujuk rayu perempuan (sebagai ditafsirkan oleh Abu Muslim) dan dari hasad dengkinya orang yang dengki.

Namun pada Surat penutup ini, Surat 114 kita berlindung kepada Allah dari satu macam bahaya yang timbul dari sesama manusia. . Apakah bahaya itu?Yaitu:

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nas | 114 : 3 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat An-Nas |114:4|

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ

min syarril-waswaasil-khonnaas

dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi,

From the evil of the retreating whisperer -

Tafsir
Jalalain

(Dari kejahatan bisikan) setan; setan dinamakan bisikan karena kebanyakan godaan yang dilancarkannya itu melalui bisikan (yang biasa bersembunyi)

karena setan itu suka bersembunyi dan meninggalkan hati manusia bila hati manusia ingat kepada Allah.

Alazhar

"Dari kejahatan bisik-bisikan dari si pengintai-peluang." (ayat 4). Ialah orang yang selalu mengintai kalau ada peluang.

Yang selalu menunggu moga-moga kita terlengah. Maka saat kita terlengah itulah peluang yang baik baginya untuk membisik-bisikkan suatu!

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nas | 114 : 4 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat An-Nas |114:5|

الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ

allażii yuwaswisu fii shuduurin-naas

yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,

Who whispers [evil] into the breasts of mankind -

Tafsir
Jalalain

(Yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia) ke dalam kalbu manusia di kala mereka lalai mengingat Allah.

Alazhar

"Yang membisik-bisikkan di dalam dada manusia." (ayat 5). Dia berbisik-bisik, bukan berterang-terang.

Dia masuk ke dalam dada manusia secara halus sekali. Dia menumpang dalam aliran darah, dan darah berpusat ke jantung,

dan jantung terletak di dalam dada. Maka dengan tidak disadari bisikan yang dimasukkan melalui jantung yang dibalik benteng dada itu,

dengan tidak disadari terpengaruhlah oleh bisik itu. Sedianya kita akan maju, namun karena mendengar bisikan dalam dada itu,

kita pun mundur. Tadinya hati kita telah bulat hendak berjihad fi Sabilillah, namun karena bisikan yang menembus hati itu,

kita tidak jadi berjihad. Kita menjadi ragu akan maju ke muka. Bisikan dalam hati yang menghasilkan ragu-ragu itu sangatlah menurunkan mutu kita sebagai manusia.

Dan perasaan yang dibisikkan oleh sesuatu di dalam dada itu telah diberi nama dalam ayat-ayat ini, yaitu waswas! Dan dia pun telah menjadi bahasa Indonesia kita, waswas.

Siapa yang memasukkan waswas ini ke dalam dada kita? Ditegaskan oleh ayat terakhir. Dia terdiri:

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nas | 114 : 5 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat An-Nas |114:6|

مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

minal-jinnati wan-naas

dari (golongan) jin dan manusia.

From among the jinn and mankind."

Tafsir
Jalalain

(Dari jin dan manusia") lafal ayat ini menjelaskan pengertian setan yang menggoda itu, yaitu terdiri dari jenis jin dan manusia,

sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat lainnya, yaitu melalui firman-Nya, "yaitu setan-setan dari jenis manusia dan dari jenis jin."

(Q.S. Al-An'am, 112) Atau lafal Minal Jinnati menjadi Bayan dari lafal Al-Waswaasil Khannaas, sedangkan lafal An-Naas di'athafkan kepada lafal Al-Waswaas.

Tetapi pada garis besarnya telah mencakup kejahatan yang dilakukan oleh Lubaid dan anak-anak perempuannya yang telah disebutkan tadi.

Pendapat pertama yang mengatakan bahwa di antara yang menggoda hati manusia adalah manusia di samping setan, pendapat tersebut disanggah dengan suatu kenyataan,

bahwa yang dapat menggoda hati manusia hanyalah bangsa jin atau setan saja. Sanggahan ini dapat dibantah pula, bahwasanya manusia pun dapat pula menggoda manusia lainnya,

yaitu dengan cara yang sesuai dengan keadaan dan kondisi mereka sebagai manusia. Godaan tersebut melalui lahiriah, kemudian merasuk ke dalam kalbu dan menjadi mantap di dalamnya,

yaitu melalui cara yang dapat menjurus ke arah itu. Akhirnya hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui.

Alazhar

"Daripada jin dan manusia." (ayat 6).Si pengintai-peluang (ayat 4) disebut si KHANNAS!

Ada yang halus atau secara halus, itulah yang dari jin. Ada yang kasar secara kasar, itulah yang dari manusia. Keduanya membujuk, merayu, setelah memperhatikan bahwa kita lengah.

Karena kelengahan kita, timbullah penyakit waswas dalam dada, hilang keberanian menegakkan yang benar dan menangkis yang salah,

sehingga rugilah hidup di tengah-tengah pergaulan manusia yang menempuh jalan berliku-liku ini.

Di ayat penghabisan ini telah dijelaskan bahwasanya si pengintai-peluang itu terdiri dari dua jenis, yaitu jin dan manusia. Al-Hasan menegaskan: "Keduanya sama-sama syaitan.

Syaitan yang berupa jin memasukkan waswas ke dalam dada manusia. Adapun syaitan yang berupa manusia memasukkan waswas secara kasar."

Qatadah menjelaskan: "Di keduanya ada syaitannya. Di kalangan jin ada syaitan-syaitan, di kalangan manusia pun ada syaitan-syaitan." Tafsir dari Ustazul Imam Syaikh Muhammad Abduh lebih menjelaskan lagi.

Kata beliau: "Yang membisik-bisikkan (was-was) ke dalam hati manusia itu adalah dua macam. Pertama ialah yang disebut jin itu,

yaitu makhluk yang tak nampak oleh mata dan tidak diketahui mana orangnya tetapi terasa bagaimana dia memasukkan pengaruhnya ke dalam hati,

membisikkan, merayukan. Dan semacam lagi ialah perayu yang kasar, yaitu manusia-manusia yang mengajak dan menganjurkan kepada jalan yang salah."

Imam Ghazali di dalam kitabnya "Ihya' Ulumuddin" yang terkenal itu memberikan bimbingan terperinci,

bagaimana usaha supaya di dalam kita melakukan sembahyang jangan sampai si Khannas itu dapat memasukkan pengaruhnya ke dalam dada kita.

Di antara lain beliau menulis: "Apabila engkau membaca A'udzu billahi minasy-syaithanir-rajim, hendaklah engkau ingat bahwa musuh besarmu itu (syaitan),

selalu mengintipmu, dan jika engkau lengah niscaya dipalingkannya hatimu daripada ingat akan Allah.

Asal mulanya ialah karena hasad dengkinya kepadamu, melihat engkau munajat menyeru Allah dan engkau bersujud kepada-Nya.

Padahal dia dikutuk Tuhan karena sekali bersalah menantang Tuhan, tidak mau sujud kepada Adam.

Dan sesungguhnya engkau memperlindungkan diri kepada Allah daripada perdayaan syaitan itu ialah dengan meninggalkan apa yang disukai syaitan,

bukan semata-mata hanya berlindung diucapkan mulut. Karena orang yang telah diintai oleh binatang buas, sedang dia tahu,

atau hendak diserang dan dibunuh oleh musuhnya, tidaklah akan menolong kalau hanya diucapkannya "Aku berlindung kepada Allah,

bentengky yang kuat," padahal dia masih tegak juga di tempat. Ucapkanlah ucapan itu, tetapi segeralah tinggalkan tempat yang berbahaya itu. Karena dengan ucapan saja tidaklah akan berfaedah.

Demikian jugalah adanya orang yang masih saja menuruti kehendak syahwatnya, padahal menurut syahwat itulah yang sangat disukai oleh syaitan dan dimurkai oleh Tuhan, tidaklah akan menolong kalau hanya ucapan,

kalau hanya bacaan! Tetapi hendaklah di samping berucap dan membaca, ambil cepat tindakan meninggalkan lapangan syaitan itu dan masuk ke dalam benteng yang tidak sedikit pun dapat dimasuki oleh musuh.

Benteng yang teguh kokoh itu ialah yang pernah dijelaskan oleh Tuhan Azza wa Jalla dengan perantaraan lidah Nabi-Nya SAW. Bahwa Tuhan pernah berfirman kepada beliau (Hadis Qudsi):

"La Ilaha Illallah", "Tidak ada Tuhan melainkan Allah adalah benteng-Ku, barangsiapa yang masuk melindungkan diri ke dalam benteng-Ku, selamatlah ia daripada azab-Ku."

Orang yang terpelihara dalam benteng itu ialah orang yang benar-benar tidak ada ma'budnya, tidak ada yang disembahnya selain Allah.

Adapun orang yang mengambil hawa nafsunya menjadi Tuhannya, maka dia itu adalah di tempat permedanan syaitan, bukan berlindung di bentang Tuhan." – Sekian Ghazali.

*** Maka banyaklah keterangan dari Rasulullah SAW sendiri tentang bagaimana pentingnya kedua Surat ini yang selalu disebut "Mu'awwidzataini" (dua Surat perlindungan)

untuk dijadikan bacaan pengokoh iman, penguat jiwa, penangkis bahaya. Maka tersebutlah di dalam Hadis yang Shahih, dirawikan oleh Bukhari,

yang beliau terima dengan sanadnya daripada Ibu orang yang beriman Siti Aisyah (moga-moga Allah ridha kepadanya),

bahwasanya junjungan kita Nabi Muhammad SAW apabila hendak masuk ke dalam tempat tidurnya setiap malam,

dikumpulknya kedua telapak tangannya, kemudian itu dibacanya: mula-mula "Qul Huwallaahu Ahad", sesudah itu "Qul A'udzu Bi Rabbil Falaqi",

sesudah itu "Qul A'udzu Bi Rabbin-naasi", yang dirampungkannya sambil membaca itu dengan kedua telapak tangannya itu.

Setelah selesai, maka dibarutkannyalah kedua telapak tangannya itu pada bahagian-bahagian yang dapat dicapai oleh kedua telapak tangannya itu,

dengan dimulai dari kepalanya dan mukanya, terus kepada seluruh badannya sampai ke bawah. Diperbuatnya demikian sampai tiga kali." Selain dari Bukhari, Hadis ini pun dirawikan oleh Ash-Habus-Sunan.

Dan seketika penulis tafsir ini masih lagi kecil, cara pelaksanaan Hadis ini telah diajarkan kepadaku oleh ayahku dan guruku.

Dan dalam perjalanan-perjalanan musafir ketika saya mengiringkan beliau, jaranglah aku tidak melihat beliau melakukan demikian. Demikianlah adanya, Amin.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nas | 114 : 6 |

penjelasan ada di ayat 1